This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Sunday 25 October 2020

Santet Janur Ireng - Part 2


Intan Kuncoro

Alunan kendang dan gending beradu dalam buaian musik yang memabukkan di ikuti gerakan luwes badan seorang penari yang mengenakan topeng kayu dari pohon sono, Mira mengamati acara ludruk malam ini dengan tawa bersuka cita, ludruk sendiri adalah sebuah kesenian tari yang biasa di ikuti dengan senda gurau dimana penonton biasa di libatkan dalam lakon dan drama. Pertunjukan ludruk sendiri sudah lama di kenal di tanah jawa bahkan sejak dulu kala, salah satu dari banyaknya kekayaan budaya khas Nusantara.

Suara tawa penonton terdengar sesekali manakala si penari yang kebanyakan di perankan oleh lelaki melontarkan candaan kepada lawan main yang biasa di sebut lakon di dalam seni pertunjukan. Mira dan penonton lain tampak begitu antusias, bersama dengan anak-anak desa Mira duduk di  barisan paling depan.  Usia Mira sendiri belum menginjak sepuluh tahun bersamaan dengan anak-anak lain yang sebaya dengannya. Manakala ketika si penari mulai menekuk badan mengikuti gerakan dan dendang nada dari 

Gamelan yang di tabuh tiba-tiba dari  tempat Mira bersila di atas rumput mendadak menjadi sunyi senyap. Mira terdiam gelisah karena sewaktu saat pertunjukan ludruk sedang berlangsung Mira melihat sesosok 

Wanita berambut panjang yang memiliki tinggi nyaris lebih dari 2 meter, ia tiba-tiba hadir dan berdiri di belakang sang penari. Dengan hanya berbusana seperca kain putih yang lusuh ia menunduk dalam diam, Mira 

Tertuju pada tangan dan kuku jarinya yang panjang sekali, tak hanya itu ia juga memiliki rambut yang panjang tergerai tak berujung, Mira menatap sosok itu yang kini seperti sedang memperhatikannya.


Mira masih tertegun menatapnya terlebih saat Mira baru sadar tempat ia bersila tak lagi di temukan keramaian yang sebelumnya di penuhi warga kampung yang sedang menyaksikan ludruk. Lapangan rumput itu kini menjadi tempat kosong yang sunyi senyap sebelum perlahan Mira melihatnya, entah

Bagaimana sosok itu muncul satu persatu di sekitar tempat Mira duduk.

"Miraaa" ucap sosok itu mendekatinya. "mrinio nduk" (kesini nak).

Mira tak menggubris ucapan sosok itu, namun Mira tak dapat mengabaikan sosok lain yang kian lama kian ramai, mulai dari sosok tanpa kulit yang di bungkus kain kafan, hingga sosok hitam besar dengan bulu lebat yang memenuhi tempat itu.

  

Mira gemetar menyaksikannya, ia tak mengerti bagaimana ia bisa sampai di tempat ini. Sebelumnya yang ia lihat hanyalah warga dan anak-anak desa namun sekarang, tempat ini justru di penuhi makhluk-makhluk yang biasa hadir di dalam mimpi Mira.

 "nduk" sosok itu mendekat, caranya berjalan begitu aneh. Ia tak mengangkat kakinya melainkan menyeret kakinya. Mira merangkak mundur namun sosok itu mendekat lebih cepat, Mira tersudut karena yang terjadi tempat itu sudah di penuhi balak lelembut.

  

Tangannya yang kurus kering menyentuh kepala Mira. Ia membelai rambut Mira dengan begitu lembut, wajahnya yang tertutup rambut kini mulai nampak di depan mata Mira, wajahnya sayu, tampak begitu menderita, air mata'nya menetes dan ia membisikkan sesuatu kepada Mira.

"janur ireng iku tondo pitu lakon isok dikalahno, nanging dalan iku isek suwe, amergo loro bakal di rasakno kabeh kanggo ngadep ratu" (janur hitam adalah pertanda bahwa sang tujuh bisa di kalahkan, namun jalan itu masih lama, karena sakit akan di rasakan oleh semua untuk dapat bertemu dengan sang ratu) Mira tersentak membuka mata. Keningnya berkeringat dengan tangan gemetar hebat, Mira terdiam menatap sekeliling, untungnya tak di temuinya pemandangan mengerikan itu. Sudah lama sekali Mira tak memimpikan peristiwa itu yang hingga saat ini masih sulit untuk di bedakan oleh dirinya sendiri apakah pengelihatan itu adalah bagian dari ingatan di masa lalunya ataukah hanya sebuah mimpi yang datang secara tiba-tiba. Mata Mira teralihkan pada jarum infus di tangannya, ia tak mengerti kenapa bisa sampai ada di tempat ini saat, ngilu di bahu'nya tiba-tiba terasa menyakitkan, Mira baru sadar dengan apa yang sebelumnya terjadi.

  

Kudro bercerita tentang bayu saseno menyelam dalam ingatan masalalunya, mencari dimana keberadaannya dalam tatanan bunga wijayakusuma karma pesugihan (end)


Seorang wanita misterius yang mengenakan blazer merah datang menemuinya, entah apa yang terjadi setelahnya karena hal terakhir yang Mira ingat adalah ia melompat keluar dari jendela tepat di lantai tujuh tempat kantor Mira berada.

  

Tak beberapa lama seseorang membuka pintu. Mira menoleh melihat seorang lelaki jangkung dengan jenggot tebal dan rambut hitam tebalnya melangkah masuk.


"Mira, lo udah sadar?"


Mira tak menggubris pertanyaan lelaki itu melainkan Mira justru bertanya tentang sesuatu yang lain. "rik, dia mati?"

"mati? Siapa?" tanya lelaki bernama Riko itu.

"perempuan itu, dia yang nusuk gw"

Riko tidak mengerti maksud Mira. "sorry. Tapi kayanya ada yang salah di sini?"

"salah" "-salah gimana maksudnya?" tanya Mira.


"yang nusuk bahu lo itu" Riko terdiam lama, "diri lo sendiri".

 ***

"matamu!! Maksud lo gw yang nusuk bahu gw sendiri begitu" teriak Mira tak mengerti.

  

"tenang Mir, kondisi lo 

Masih belum stabil." ucap Riko menenangkan, "lo inget di ruangan kita 

Ada cctv yang baru di pasang beberapa bulan lalu?"

  

"iya. Inget" ucap Mira.

  

"jadi, setelah gw denger

 lo teriak, gw langsung pergi menuju kantor, dan di sana gw lihat lo 

Udah terkapar dalam keadaan kritis dan darah lo ada di mana-mana" Riko terdiam sejenak menatap ekspresi Mira, "masalahnya gak ada siapa-siapa di sana, cuma ada lo"

"bentar" ucap Mira, "waktu lo datang. Lo gak lihat ada perempuan jatuh, lompat dari kantor kita"

"gak ada" ucap Riko dengan wajah yakin. "gak ada siapapun di sana ataupun lompat. Gak ada Mir!!"

 "trus? Lo ngecek cctv?" tanya Mira masih penasaran.

"ya. Itu yang gw lakukan sama security yang bertugas saat itu" Riko terdiam, ia melipat tangan sebelum melanjutkan ceritanya. "di cctv, gw lihat lo masuk ke ruangan kemudian duduk, entah apa yang lo lakuin, gak jelas, kayanya lo lagi baca buku atau jurnal dan setelah lo duduk, lo berdiri kemudian keluar 

Dari ruangan" Riko menatap mata Mira "gak beberapa lama, lo balik dengan kondisi membawa pisau, dan hal berikutnya adalah, ya.. Lo udah tahu akhirnya, lo nusuk bahu lo berkali-kali sambil tertawa. Aneh tau gak. Kalau lo gak percaya, gw bakal tunjukin rekamannya"

Mira hanya diam, ia tak percaya sedikitpun dari apa yang di ucapkan oleh Riko.

"di mana jurnal gw?"


Riko merogoh isi tas'nya mengeluarkan jurnalnya, memberikannya kepada Mira. 

"ada lagi? Buku kulit? Lo lihat kan, warnanya cokelat?"

Riko hanya menatap Mira binung, "gak ada lagi Mir, hanya ini yang ada di sana"

"ada lagi bangsat!!" teriak Mira, "di meja gw ada buku kulit warnanya cokelat dan ada tulisan aksara jawabanya!!"

  

"gw gak lihat Mir-" ucap Riko.

Mira tak tau apa yang terjadi, ia yakin bila ada seorang wanita misterius yang menusuknya lalu bagaimana mungkin tiba-tiba semua ini menjadi dirinya sendiri yang menusuk bahunya.

Mira membuka jurnal, melihat satu-persatu halaman di dalamnya, namun Mira merasa ada yang 

Salah dengan jurnalnya. Riko yang mengamati Mira tampak menyadari dari ekspresi wajah Mira yang seperti kebingungan.

  "ada apa Mir, ada yang salah?"

Mira menoleh menatap Riko, "ada yang sengaja ngerobek beberapa halaman jurnal gw!"

Mira kembali melihat halaman-halaman di dalam jurnalnya satu persatu itu sampai ia berhenti 

Di sebuah halaman lain, di sana tertulis sebuah pesan yang entah di tulis oleh siapa.

"bayu sasono iku lawang sing mok golek'i, tapi kuncine onok nang Intan Kuncoro" (bayu sasono adalah pintu yang harus kamu cari, tapi kunci dari pintu itu ada pada nama Intan Kuncoro)

Mira terdiam merenung sesaat. Ada sesuatu yang sedang menunggunya, siapa –nama-nama ini. Mira tak mengerti sama sekali.

**

 terdengar suara pintu di ketuk.  


"nduk, awakmu jek gak enak tah?" (nak, badanmu masih gak enak?)

  "iyo pak. Enten nopo?" (iya pak. Memang ada apa?)

"iki loh, onok tamu kepingin ketemu" (ini loh ada tamu yang ingin bertemu)

"sopo?" (siapa)

"metu dilek to nduk, bapak gak enak wes kadong ngomong nek onok awakmu nang omah" (keluar dulu dong nak, bapak gak enak karena sudah terlanjur bilang kalau kamu ada di rumah)

"nggih pak" (baik pak)

Pintu terbuka. Langkah kaki terdengar di sepanjang lantai tanah di dalam rumah gubuk itu, manakala langkah kaki sampai di muka pintu rumah, sosok lelaki yang mengenakan kemeja putih itu menatap sayu.

"sri, piye kabare, aku teko mrene kepingin nyampek'no hal sing ngganjel sampek sak iki?" (sri, gimana kabarnya, aku datang kesini ingin menyampaikan sesuatu yang mengganjal sampai saat ini?)

  

"tentang opo mas?" (memangnya tentang apa mas?)

 "Kuncoro dan awal mula Janur Ireng".


Arjo Kuncoro


Mobil melaju di atas jalanan beraspal dengan pemandangan pohon besar nan tinggi di sekitarnya. Langit mendung, Sri menatap lurus jalanan yang ada di depannya. Aneh. Tak di temui pengendara lain di jalan ini selain dirinya sendiri seakan jalan panjang ini tak pernah di lewati lagi oleh siapapun. Sugik sendiri terlihat fokus menyetir tanpa mengeluarkan sepatah katapun seakan Sri tidak pernah ada di sampingnya.



Setelah lama berkendara, terdengar suara gemuruh di atas langit, sebuah pertanda akan datangnya badai. Sri hanya diam, teringat bagaimana Sugik mengatakannya tadi, sesuatu tentang "Janur ireng". Sebuah kepingan puzzle yang entah bagaimana membuat Sri begitu tertarik untuk tahu peristiwa apa yang sebenarnya terjadi pada sebuah keluarga bernama "Kuncoro". Kepingan puzle yang sampai saat ini masih tercecer di hadapannya.



Mobil tiba-tiba berhenti di depan sebuah  jalanan buntu yang tertutup oleh pohon besar nan tinggi, di sekitarnya di penuhi rumput dan ilalang liar yang rimbun. Sugik menatap Sri memberikan gestur tanda mengangguk sebelum melangkah keluar bersama-sama. Pandangan Sri menatap ke arah rumput dan ilalang liar yang ada di hadapannya. Dalam hati, Sri bertanya-tanya, tempat apa sebenarnya ini. 

Sugik melangkah ke bagasi mobil di belakang, ia mengeluarkan sesuatu dari sana, ketika Sri memandangnya ia melihat Sugik mendekat dengan dua bilah parang panjang.

"kediamane Kuncoro onok nang walek'e kebon iki" (kediaman rumah Kuncoro ada di balik rumput ini)

Sugik melangkah lebih dahulu, ia melewati Sri sebelum menyabitkan parangnya membuka jalan dan Sri mengikutinya dari belakang.

Tercium bau busuk aroma yang tidak mengenakan saat Sugik dan Sri berjalan bersama, aroma bangkai yang seperti sudah lama membusuk namun Sri tak mengerti bebauan apa yang ia cium.

Sugik terus menerus memangkas rumput dan ilalang liar yang ada di depannya, tanpa memperdulikan aroma itu Sugik terus menembus lahan yang luasnya hampir berhektar-hektar. Ia tak mengerti, sehebat dan sekaya apa pemilik lahan ini dan bagaimana tempat ini bisa di tinggalkan begitu saja.

Langit masih mendung dengan gemuruh guntur yang sesekali terdengar hingga akhirnya setetes hujan mulai turun, Sugik seperti tahu panggilan alam maka ia mempercepat langkah dan sabitan parangnya sementara Sri sudah memegangi kepalanya saat hujan semakin deras, tiba-tiba Sri mendengarnya, lewat sayup-sayup angin yang berhembus Sri mendengar suara teriakan orang-orang dari balik semak-belukar dan lahan ilalang liar suara dari orang –orang yang menjerit tersiksa, Sri berhenti melangkah, matanya menatap sekeliling, namun tak di temui apapun selain ilalang liar yang bergesekan satu sama lain karena angin sebelum Sri melihatnya.


Sesuatu yang melintas begitu saja di antara ilalang, seorang perempuan berambut pendek yang menatap dirinya. Matanya cokelat dengan senyuman yang manis, ia mengenakan gaun putih dengan corak khas arsir jawa, ia melintas lalu lenyap di balik ilalang lain, Sri tiba-tiba merasakan firasat yang tidak menyenangkan. 


Tatapan sosok itu seakan menghipnotis dirinya. Merasakan senyuman manis itu seperti sebuah kutukan pedih yang pernah Sri lihat ketika Sabdo Kuncoro tersenyum untuk terakhir kalinya saat makhluk hitam itu memelintir kepalanya sebelum melemparkannya di hadapan Sri.

"Sri. Kowe gak popo" (Sri, kamu gak papa?) tanya Sugik, ekspresi wajahnya tampak khawatir.

"gak popo mas" (gak papa mas) jawab Sri,

"yo wes, ayok. Udan'e tambah deres" (ayok. Hujannya semakin deras) sahut Sugik menarik tangan Sri.

Di balik jalanan bersemak yang Sugik buka, Sri melihat sebuah rumah tua dengan bangunan bergaya pendopo, begitu luas, begitu megah, namun tak lagi terawat. Di sana-sini di temukan sulur-sulur tanaman merambat liar dan pohon-pohon beringin besar yang tumbuh di sekitar halaman. Sugik kembali menarik tangan Sri, membawanya mendekati teras rumah, di sana Sri bisa merasakan bahwa rumah ini pasti sudah di tinggalkan bertahun-tahun hingga tak ada lagi kehidupan yang tersisa di tempat ini. Hanya sebuah lahan tua yang di penuhi kengerian, tiba-tiba terdengar suara pintu berderit terbuka, Sugik ada di sana, menatap Sri.

"masuk Sri, bakal tak duduhi opo iku sing jeneng'e Janur Ireng" (Masuk Sri, akan aku tunjukkan apa itu Janur hitam) 

 Sugik berjalan di atas lantai kayu, langkah kakinya menggema di sepanjang rumah besar ini yang sebagian di bangun dengan kayu jati dan ukiran khas jawa yang begitu kental. Bermodalkan lampu petromaks yang Sugik temukan di atas meja, Sugik melangkah dengan cahaya pijar menelusuri lorong yang di penuhi pintu-pintu tua yang bercorak gelap gulita tak terjamah.

Beberapa kali Sugik berhenti, menerangi beberapa sudut seakan di rumah itu ada sesuatu yang mengamatinya. Sri sendiri merasakan sesuatu yang tidak mengenakan, beberapa kali sayup suara orang menangis terdengar dari jauh namun Sri tidak yakin dengan perasaannya.

"nang ndi mas?" (di mana mas?)

"mari ngene Sri" (sebentar lagi Sri)

Sugik terus berjalan, gemuruh dan suara gerimis hujan masih terdengar di luar namun mereka seakan tak perduli dan terus melanjutkan langkah mereka hingga sampailah di sudut ruang paling gelap.

Sugik mendorong pintu itu, dan di dalamnya ia menemukan satu kursi tua yang ada di tengah ruang besar itu.

Sri tak mengerti kenapa Sugik membawanya kesini. Ia pun tak tahu menahu sampai Sugik menatap ke langit-langit. Sri mengikuti mata Sugik.

Tepat di atasnya. Ada sembilan belas Janur ireng yang di ikat dengan berhelai-helai daun pandang kering.

Sugik meletakkan petromaks di atas satu kursi itu, sementara mata Sri masih menatap sekeliling, bingung, ia pun mendekati Sugik saat jejak kakinya terasa aneh, seperti ia menginjak genangan air, ketika Sugik meninggalkan kursi itu, cahaya pendar dari lampu petromaks yang menyala akhirnya menyorot ruangan kosong itu.

Sri tercekat saat sadar, dirinya tengah menginjak lantai kayu yang di genangi darah kental yang masih segar ia menatap Sugik yang juga menatap dirinya.

"getih sing onok nang kene, gak isok garing. Iki getih'e wong sing dadi tumbal amergo Janur Ireng" (darah yang ada di sini, tidak pernah bisa mengering. Ini adalah darah dari semua orang yang sudah menjadi tumbal janur hitam)

Sugik terdiam lama sebelum matanya beralih pada kursi dengan lampu petromaks itu. 


"itu adalah kursi tempat Arjo Kuncoro merobek isi perutnya sambil tertawa dan berteriak bahwa semua akan mendapatkan pembalasan yang setimpal"

"Janur ireng iku tentang getih sing di mulai amergo manten nyowo" (Janur hitam adalah tentang darah kental di atas sebuah pernikahan bermodal nyawa)


Bersambung...

  

Friday 16 October 2020

Santet Janur Ireng - Part 1




Suara dering telepone terdengar memenuhi ruangan, namun tak ada satupun dari riuh orang di dalam sana yang mengangkatnya. Seorang wanita tengah menatap lurus sebuah jurnal didepannnya sembari membolak-balik lembar per lembar, tempat dimana wanita itu biasa menggunakan kertas-kertas itu sebagai bahan untuk menulis tajuk berita sebelum melemparkannya ke publik. Tiba-tiba seseorang menyentuh punggungnya, mengejutkannya sembari menatap dirinya dengan ekspresi wajah bertanya. "hei. Ngapain sih lo? Itu, telephone di meja lo bunyi dari tadi" katanya dengan suara ketus.
  
"oh iya. Sorry, gw gak denger tadi" ucap si wanita yang tersenyum agak canggung. Orang itu menggeleng-gelengkan kepala menatapnya sejenak sembari berdeham lirih "aneh" sebelum ia melangkah pergi dengan wajah jengkel sementara si wanita mengangkat telephone, mendengar suara 
Dari ujung lain yang tampak sama gusarnya.  
"bangsat lo ya!!" 
Kata si penelphone setengah berteriak
"lo dari tadi kemana sih, gw hubungi dari tadi gak diangkat-angkat!!"
"iya-iya.
 sorry. Gw tadi di kamar mandi soalnya" ucap si wanita sembari membuka kembali lembar per-lembar di buku jurnalnya yang penuh dengan coretan dan tulisan-tulisan acak seadanya, sementara gagang telephone sudah di sangga oleh bahunya, si wanita kembali  mencoret-coret entah apa di dalam buku jurnalnya. Kebiasaan yang sudah lama ia miliki. Bahkan ia sendiri tidak tahu sejak kapan kebiasaan mencoret-coretan tak berdasar di buku jurnalnya.
"ya sudah. Gini..loh" 
Ucap si penelpone yang kini suaranya terdengar lebih serius, "gw baru aja dapat kabar, ada sesosok mayat baru aja di temukan di sebuah rumah gubuk di tengah ladang tebu. Lo bisa gak ke tkp, soalnya si riko lagi gw suruh ngerjain hal lain".
Hening. Si wanita terdiam sejenak sebelum si penelphone memanggilnya kembali. "wei. Gimana? Lo bisa gak ke tkp sekarang?"
  
Ekspresi si wanita tampak termenung untuk sesaat. Entah kenapa, suara dari si penelphone seakan tak terdengar lagi di telinganya, di gantikan dengan keheningan yang memanjang sejauh mata memandang. Selang beberapa saat, ruangan yang seharusnya ramai itu mendadak menjadi lebih sunyi dan kegelisahan yang pernah wanita itu rasakan dulu mendadak menyeruak kembali. Wanita itu baru sadar bila firasat yang dulu seringkali menghantuinya mendadak kembali dan bayangan-bayangan hitam yang ada di 
Sekeliling membuatnya tahu bahwa meski dalam keheningan ia tidak benar-benar sendiri.
  
"Miraaaa!!" teriak si penelphone yang sontak membuyarkan lamunan si wanita. "lo denger gw gak sih??!! Bisa gak??"
  
"iya-iya. Bisa kok, bisa. Di mana alamatnya?" 
Tanya wanita itu dengan nada sedikit parau. Mira itu adalah nama wanita itu. Sebuah nama yang di berikan oleh almarhum ayahnya yang menghilang tanpa jejak meski begitu, Mira tumbuh menjadi seorang wanita yang tangguh, lebih tangguh dari apapun bahkan sejak kepergian neneknya, orang kedua yang paling ia sayangi setelah ayahnya. 
  
Mira mendengarkan dengan seksama alamat yang di katakan si penelphone, sembari mulai menulis di jurnalnya, alamat tempat tkp itu berada namun tiba-tiba Mira terdiam dalam keheranan saat menyaksikan apa yang tertulis di atas kertas buku jurnalnya adalah sebuah tulisan yang terbaca dari coretan-coretan tangan Mira saat ia sedang menelpone tadi, meski hanya sebatas coretan-coretan acak yang di buat serampangan namun 
Coretan itu bisa terbaca dengan aksara jawa kecil di sampingnya. Coretan itu terbaca sangat jelas. Sebuah tulisan yang bila dibaca  menjadi dua kalimat yang belum pernah Mira lihat sebelumnya.
  
"JANUR IRENG"
  
****


Mira melangkah turun dari mobil tua yang ia pinjam dari kantor untuk datang ke tkp, tempat dimana sesosok mayat baru di temukan. Lokasinya sendiri berada di sebuah perkebunan tebu yang rimbun dan jauh dari hiruk pikuk permukiman penduduk sehingga mayat yang baru saja di temukan 
Sudah dalam kondisi yang benar-benar mengenaskan. Setidaknya itu yang Mira tahu dari percakapan di telephone tadi.
  
Mira sempat mewawancarai beberapa penduduk yang ada di sekitaran tkp, mereka mengaku tidak ada 
Yang tahu bila ada sebuah rumah yang di bangun di tengah-tengah lahan tebu yang luas ini, apalagi apalagi setelah di temukannya seonggok mayat yang ada di dalamnya.
Setelah menempuh kurang lebih 100 meter dari jalan, barulah Mira bisa melihat rumah gubuk itu 
Yang di susun dengan kayu-kayu tua, Mira mendekati rumah itu dimana di depan rumah terlihat banyak petugas dan beberapa teman jurnalis yang Mira kenal.
"mbak Mira" panggil seorang petugas yang kebetulan mengenali Mira. 
  
Mira mendekat.
  
"bapak" ucap Mira kepada petugas "bagaimana pak keadaan mayat yang di temukan, apakah sudah di identifikasi siapa dia?"
  
"saat ini masih belum mbak. Informasi itu masih sedang kita dalami" ucap pak polisi yang membuat Mira mengangguk. 

"lalu pak, soal kematiannya bagaimana? Saya mendengar kalau kematiannya.." Mira terdiam sejenak "gak wajar!"
  
  
Si petugas hanya diam saja sembari sesekali memperhatikan sekeliling. Mira bisa melihat gelagat yang tidak nyaman pada si petugas sehingga tanpa menunggu jawaban Mira langsung mengatakannya.
  "boleh saya masuk pak, Saya mau melihat—kondisi mayatnya" tanya Mira yang di jawab langsung 
Oleh si petugas dengan anggukan, "tentu mbak Mira, tentu saja. Silahkan, tapi mbak…" polisi itu menatap Mira nanar, "kondisi mayat itu sangat.." 
Mira terdiam menunggu, "memperihatinkan".
Mira mengangguk, mencoba mengerti maksud baik petugas yang berjaga, Mira pun melangkah masuk ke 
Dalam rumah gubuk tempat di mana Mira bisa melihat lebih banyak lagi Petugas sedang mengerjakan pekerjaannya masing-masing. Tepat di saat Mira menginjakkan kakinya di dalam ruangan tempat mayat itu berada, Mira langsung menutup hidung, aroma busuk yang menyeruak itu langsung Membuat Mira terhuyung, makanan yang Mira telan seperti ingin melompat Keluar, sementara di sekelilingnya orang-orang yang sedang Mengidentifikasi menatapnya sebelum memberi Mira masker. Meskipun Mira sudah Mengenakan masker namun aroma busuk mayat itu masih tercium, Berkali-kali Mira menyentuh hidungnya dengan tangan, mencoba mengusir 
Aroma memuakkan itu sampai matanya tertuju pada sosok mayat yang ada di Depannya. Mira terdiam bingung harus berkomentar seperti apa karena Tepat di hadapannya terlihat seseorang tak di kenal tengah duduk bersila di atas ranjang dengan kondisi tanpa kepala. Mira masih tidak dapat berkomentar apa-apa selain shock menyaksikan ini. 
  
Ini adalah kali pertama Mira melihat hal ganjil yang seperti ini, bagaimana mungkin hal seperti 
Ini bisa terjadi. Sosok mayat tanpa kepala dengan kondisi ia masih duduk bersila. Di depannya ada sebuah meja kayu dengan beberapa anggop dari Tanah liat berisikan air dan kembang, serta keris yang tersusun rapi di Sebelahnya. 
 
Mira menggernyitkan Kening.
Ia berpikir sejenak apa maksud benda-benda di depannya ini. Apa Mungkin sosok ini adalah seorang dukun. Mira terdiam cukup lama Sembari memotret mayat itu dari beberapa sudut yang bisa ia ambil. 
Sementara bau busuk itu semakin lama tercium semakin busuk seakan-akan Memberitahu Mira bahwa mayat ini sudah lama mati setidaknya itu yang Mira tahu mengingat ia sudah pernah menangani peristiwa kematian serupa Seperti ini.
"lebih dari 3 hari tampaknya" ucap Mira di dalam hati, kulitnya terlihat pucat dan menguning dengan lalat di sekelilingnya. 
  
Mira mencoba melihat Sekeliling ruangan itu namun sayangnya ia tidak menemukan apapun, bisa Jadi polisi sudah mengamankan beberapa bagian yang penting yang Kemungkinan bisa membantu penyelidikan namun dari semua yang bisa Mira Lihat di sini, Mira mencium sesuatu yang lain. Sesuatu yang sedari tadi Sangat menganggunya, Mira menoleh menatap sebuah pintu di ruangan lain, Pintu itu tertutup dengan garis kuning yang terpasang di depannya. Mira Mendekatinya, tiba-tiba sebuah kilasan aneh muncul, dari dalam pintu Yang tertutup itu Mira bisa mendengar suara jeritan dari seorang 
Perempuan yang terdengar di telinganya terus menerus meminta- pertolongan. Anehnya, tak ada satupun orang yang ada di dalam sana mendengar suara itu. Penasaran, dengan perlahan-lahan Mira mendorong 
Pintu itu dan melangkah masuk melewati garis kuning yang terpasang di depan pintu. Di dalamnya Mira menemukan sebuah ruangan lain, sebuah ruangan yang sama persis dengan ruangan tempat mayat misterius itu di Temukan, bedanya hanya ada di ranjang kosong, dimana di dalam ruangan 
Ini, ranjang kosong itu di tutupi oleh sebuah tirai putih transparan, Mira mengitari ranjang sementara ia melihat ke sekeliling. Sedari tadi, Mira masih bertanya-tanya, ruangan apa dan bagaimana bisa ada rumah yang di bangun di sini tanpa ada satu orang pun yang tahu. Hal ini tentu Saja membuat Mira begitu tertarik.
 
Mira pun mulai memeriksa ruangan itu, sementara para petugas kepolisian dan jurnalis lain masih 
Tampak sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri, di tengah ketegangan Melihat bagian-bagian yang belum tersentuh itu tiba-tiba Mira melihat Sesuatu yang ganjil, sesuatu yang ada di bawah sebuah kain hitam pekat Yang di lilit dan di letakkan di bawah ranjang bertirai putih itu. Mira Mengangkat ranjang, meraih ikatan hitam pekat itu, di dalamnya Mira Menemukan sebuah cincin dengana batu berwarna merah delima tua yang Lingkarannya terbuat dari tembaga kekuningan. Mira terdiam sejenak 
Menyaksikan cincin itu, sebelum Mira menyadari ada sesuatu yang lain di Balik ranjang itu. Mira tertegun menyaksikan sebuah buku tua yang di Buat dari kulit kambing berwarna cokelat muda. Mira mulai membuka buku Itu, di depannya tertulis sebuah tulisan yang di buat dengan menggunakan aksara jawa kuno.
 

Mira tidak mengerti buku apa itu sebenarnya sebelum sebuah suara mengejutkannya.
 
"mbak-" ucap seseorang dari luar ruangan. "tidak boleh masuk ke ruangan itu, ini masih Identifikasi di larang menyentuh atau melakukan apapun di sekitaran tkp"Mira berbalik, menyembunyikan buku dan cincin itu di balik baju belakangnya. 
 

"iya maaf pak, saya akan keluar"
 
Mira pun meninggalkan ruangan itu, menutup kembali pintu dan meninggalkan rumah aneh itu, 
Siapakah sosok di balik mayat misterius itu, sampai saat ini, Mira belum tahu. di luar rumah, kepala petugas yang bertanggung jawab dalam kasus ini mulai di Wawancarai banyak jurnalis termasuk Mira. Rentetan pertanyaan di ajukan namun tampak si kepala petugas belum yakin dengan jawabannya sehingga Semua jurnalis akhirnya meninggalkan tempat itu sementara waktu.
  
 
Dari apa yang Mira dengar hari ini, banyak spekulasi ganjil dari informasi mengenai siapa sosok mayat tanpa kepala itu, selain itu caranya mati pun menjadi tajuk Pertanyaan, apakah ia di tebas, namun spekulasi bagaimana bisa seseorang menebas kepala tanpa membuat mayat itu tersungkur masih menjadi Misteri. Pertanyaan itu sampai saat ini belum terjawab karena faktanya 
Mayat itu di temukan dalam keadaan duduk bersila.
 
Mira bersiap kembali ke kantor dan mempersiapkan laporannya hari ini, ia melangkah keluar dari 
Lokasi menuju mobil tua yang ia parkir di samping jalan, namun tiba-tiba pandangan Mira teralihkan melihat seseorang tengah menatapnya jauh dari samping sebuah mobil hitam.
 
Seorang wanita tua yang mengenakan kebaya dengan rambut di sanggul memperhatikannya seakan ada 
Sesuatu yang ia cari ada dalam dirinya, Mira masih menatapnya sebelum Sopirnya melangkah keluar dari dalam mobil dan membuka pintu. Wanita tua itu melangkah masuk, di ikuti si sopir sebelum akhirnya mobil hitam itu melaju melewatinya.

Mira membuka pintu mobil, melangkah masuk. Di lihatnya sekali lagi cincin dengan batu 
Delima merah itu dan buku dengan kulit kambing sebelum Mira menyadari Ada sesuatu yang ganjil pada dua benda itu.
 
Saat Mira menimbang-nimbang apa hubungan sebenarnya dengan semua ini tiba-tiba 
Mata Mira teralihkan pada coretan di atas jurnalnya yang terbuka. Mira Menatapnya sebelum menyadari tulisan dengan aksara jawa itu terlihat Sama dengan satu –dua kata penyebutan yang benar-benar sama. Mira Membaca kembali tulisan itu dan Mira tahu arti aksara jawa itu.
  
   
"Janur Ireng adalah santet yang menghabisi nyawa seluruh keluargaku!!!!!"
  
 
Mira mengendarai mobil, jam menunjukkan pukul 5 sore, setelah mendapat sedikit informasi yang bisa ia gali dari tempat kejadian perkara Mira berniat langsung mengerjakan semua laporan tentang penemuan mayat tanpa kepala itu untuk deadline berita esok sesuai instruksi dari kepala redaksi mbak stela.
Mira melangkah masuk, namun tiba-tiba perasaan tak enak itu muncul begitu saja. Mira berhenti di depan lift.  Mira yang seorang diri merasakan sesuatu yang ganjil. Belum pernah Mira merasakan kantor tempat ia bekerja sesunyi ini seakan ini bukanlah kantor yang biasa ia lalui, lagipula ini masih terlalu dini bagi para 
Karyawan yang sudah meninggalkan kantor. Mira membuang perasaan ganjil itu manakala pintu lift terbuka, tanpa membuang waktu dengan tas di punggung, Mira melangkah masuk, ia kemudian menekan tombol lantai tujuh, lantai tempat di mana Mira biasa bekerja. Pintu lift tertutup, perlahan-lahan lift bergerak naik. 

Mira masih teringat dengan mayat tanpa kepala itu. Pembunuhan macam apa hingga kepalanya saja sampai tidak di temukan. Mira berdeham setiap kali mengingat hal itu, tiba-tiba suara pintu lift mengalihkan perhatian Mira manakala ketika pintu lift terbuka, Mira melihat seseorang melangkah masuk. Seorang wanita muda yang  tak ia kenal melangkah masuk, ia tersenyum pada 
Mira namun Mira menanggapinya dengan anggukan yang canggung.   Mira melirik tombol lantai dan baru menyadari ia masih ada di lantai 3 tempat di mana kantor dari bagian lain berada.  Si wanita berambut hitam panjang itu mengenakan bluse merah dengan rok hitam, berbanding terbalik dengan pakaian Mira yang apa adanya mengingat Mira sendiri ikut terjun ke bagian lapangan. Wanita itu lalu berdiri di samping Mira sebelum akhirnya ia menekan tombol lift di angka sembilan, tak ada sesuatu yang aneh bagi Mira saat itu kecuali saat tiba-tiba di dalam kecanggungan lift Mira merasa aneh dengan wanita tersebut yang lebih banyak memilih untuk diam tak bergerak sedikitpun. Hal itu semakin menguat saat Mira terus mengawasi wanita itu dari sudut pandang matanya, ia sadar wanita itu hanya diam mematung memandang pintu lift dengan tatapan mata kosong. 

Mira mencoba untuk tetap tenang, ia memilih tak banyak bereaksi, sejujurnya Mira bukan orang yang suka ikut campur urusan orang, ia sendiri selalu merasa tak nyaman bercakap dengan orang yang tak ia kenal meskipun orang itu bekerja di perusahaan yang sama dengan dirinya. Suara pintu lift terdengar, Mira bersiap melangkah keluar saat tiba-tiba ia mendengar suara lirih dari wanita di sampingnya itu, ia berbicara tentang "sang angkara wes teko" (sang angkara sudah datang) Mira tertegun sesaat lalu menoleh melihat si wanita. Aneh. Pikir Mira, tatapan wanita itu masih kosong namun ada senyuman yang tersungging di sudut bibirnya.  Mira keluar dengan perasaan semakin aneh.

meski ia tak mendengar dengan jelas maksud ucapan wanita itu namun Mira yakin ada sesuatu yang tiba-tiba mengganjal di dalam dirinya. Sesuatu yang selalu muncul di kepala Mira namun selalu gagal ia gali. Lika-liku di dalam kepalanya benar-benar seperti labirin yang anehnya, Mira tidak bisa jangkau seorang diri. Hal apa yang sebenarnya terjadi dengan dirinya. Mira terhenyak, ia masih berdiri di depan pintu lift yang sudah lama tertutup, Mira berbalik menuju meja kerjanya, meletakkan tas dan mengeluarkan beberapa buku catatan dan jurnal tempat ia menulis informasi detail dari kejadian hari ini. "di temukan mayat tanpa kepala di area perkebunan tebu" setidaknya itu adalah headline yang terpikirkan oleh Mira saat ini, namun Mira masih belum merasa yakin apakah itu cukup untuk menarik perhatian dari pembacanya. 

Mira melihat jam di tangannya sudah pukul 5 lebih, ia melirik jendela di mana langit sudah mulai kemerahan, tiba-tiba Mira teringat dengan jurnal-jurnal di dalam tasnya. Ia mengambil jurnal khusus tempat biasa Mira menggoreskan catatan-catatan di luar pekerjaannya sebagai jurnalis, ia mulai membuka satu persatu lembar yang ada di dalam jurnal sampai tangannya berhenti di coretan 
Kasar yang masih membingungkan bagi Mira sendiri, "janur ireng" batin Mira menatapnya. Bagaimana ia bisa menulis catatan ini dalam keadaan yang tidak sadar.
  

Sebuah teror dokar (andong) yang di kemudikan pocongan keliling desa kami dan sekitarnya ,konon setiap pintu yang di ketuk atau desa yang disinggahi akan mendapatkan mal...

Mira merogoh isi tasnya dan mengambil buku tua dengan sampul dari kulit kambing cokelat itu lalu membuka lembar pertamanya. Mira mencocokkan satu sama lain seperti sebelumnya untuk meyakinkan dirinya bahwa aksara jawa yang terpampang di sana benar-benar sama, dan ternyata memang sama.

"menghabisi nyawa seluruh keluargaku".
Mira terdiam lama duduk di kursinya, ia memikirkan siapa yang menulis dan meninggalkan catatan ini di dalam ruangan itu. Apakah mungkin si pemilik catatan ini adalah mayat tanpa kepala itu. Entahlah. Pikiran 
Mira masih kalut.
  
Mira kemudian membalik halaman-per halaman berikutnya hingga halaman terakhir, namuntak ada yang Mira pahami ataupun mengerti karena semua halaman yang ada di dalam buku kuno itu nyaris di penuhi tulisan-tulisan dengan aksara jawa yang Mira sendiri tidak dapat membacanya, padahal Mira sendiri lahir dan besar di jawa.
 "tutt... Tuttt...tutttt!!" suara telepone di meja Mira tiba-tiba berbunyi sampai membuatnya terlonjak namun dengan sigap Mira mengangkatnya.
 
"Mir" ucap si penelpon. 
"Riko?" tanya Mira, 
  
"syukur masih ada lo di kantor, gw bisa minta tolong buat cek-buku gw di atas meja kayanya gw lupa tanggal berapa gw ada wawancara dengan pak sobo, gw 
Butuh nih. Bisa gak?" 
 Mira menoleh melihat meja Riko, sebelum mengatakannya "buku warna ijo tua itu?"
 
"ya. Betul sekali. Thanks god. Bisa lo lihat kan Mir, tanggal berapa?" 
 
"oke" kata Mira, 
Ia berdiri dari tempatnya duduk lalu berjalan perlahan- mendekati meja Riko, ia melihat buku berwarna hijau tua itu, membuka  lembar per-lembar halaman saat tiba-tiba suara pintu liftterdengar. "ting tong" Mira menoleh melihat kearah pintu lift.
 
Ruangan tempat Mira bekerja sendiri adalah ruangan yang memang di desain dengan sedinamis mungkin sehingga meski dari meja para karyawan bisa melihat langsung kearah pintu lift sehingga para karyawan yang bekerja bisa tahu kedatangan dan kepergian seseorang dari segala sisi ruangan.
 Mira masih menatap pintu lift, ia terpaku menunggu siapa yang akan keluar dari sana namun 
Anehnya, tak ada siapapun yang melangkah keluar dari sana. 
  
"Mir. Gimana, tanggal berapa itu?" 
 
Mira terhenyak ia lupa 
Bila Riko sedang menghubunginya, Mira kembali fokus pada buku di depannya, melihat lembaran di atas meja dan setelah mencari-cari akhirnya Mira menemukannya.  Tulisan Riko tentang wawancaranya dengan pak sobo, salah satu orang terkaya di negara ini. "tanggal 24 agustus tahun 20-" Mira melihat ke arah lift lagi, entah apa yang baru saja terjadi, Mira merasakan perasaan paling tak enak yang belum pernah ia rasakan hingga sejauh ini.
 
"oke makasih Mir, gw berhutang sama lo. Ngomong-ngomong kok lo masih ada di kantor sih"
 Mira tidak mendengar apa yang Riko katakan, ia masih fokus menatap pintu lift hingga dari jauh terdengar suara langkah kaki mendekat. Seseorang baru saja melangkah masuk.
 
Tap tap tap…
Mira menatap bayangan hitam orang itu yang berjalan mendekat kearah tempat Mira berdiri. Sosoknya tinggi semampai dan dari bayangan lekuk tubuhnya, Mira merasa familiar. Ia terlihat seperti Mira terhenyak saat tahu itu adalah wanita yang ia temui di dalam lift tadi.

"Getih Ireng sing nang njero awak menungso iku ngunu tondo jalar'e teko pitu lakon, kowe salah siji'ne sing onok nang takdir rambat soko kembang wijayakusuma" (darah hitam yang ada di dalam tubuh manusia itu adalah pertanda dari datangnya musibah tujuh cerita. Kamu adalah salah satu yang ada dalam takdir bunga merambat Wijayakusuma).

Mira terpaku menatap wanita itu. Ia berbicara dalam logat bahasa jawa yang kental, aneh. Apa yang ia cari di sini. Kenapa ia ada di sini.  

"Mir, ada orang lain ya di situ"

 ucap Riko dari pesawat telephone, namun Mira tak bergeming mendengarkan, ia lebih tertuju pada wanita itu yang mendekatinya namun berhenti di meja tempat ia bekerja. Tak lama, wanita itu mengelus perlahan buku tua itu sebelum menatap wajah Mira yang masih penasaran.

"buku teko trah bolosedo yo mbak, trah ireng sing jeneng'e Kuncoro" (buku dari darah bolosedo ya mbak, darah hitam yang bernama Kuncoro) ucap wanita itu sembari menyeringai menyentuh buku itu namun tak lama ia melirik Mira, tatapannya begitu mengerikan.

 "njenengan sinten? Onok urusan opo njenengan ten mriki"

 (anda siapa? Ada urusan apa anda di sini)

Wanita itu masih tersenyum ganjil, membuat Mira begidik ngeri. Satu tangannya seperti menyembunyikan sesuatu yang tidak dapat Mira lihat, sementara tangan lain membelai buku itu sembari—terus menyebut-nyebut tentang "Kuncoro".

"Mir—jancok. Jawab lah, ada orang lain ya di sana?"


Mira masih tak menjawab pertanyaan Riko, karena wanita itu kini berjalan mendekatinya.   

 "kulo wonten urusan kale njenengan amergo kulo nyuwun tulung, tulung adek'ku mbak, jeneng'e bayu saseno. Kowe kudu nulung bayu, amergo bayu iku podo karo njenengan pitu kurdo sing bakal dadi musuhe pitu lakon" (saya, ada urusan dengan kamu karena itu saya meminta tolong, tolong adikku mbak, namanya bayu saseno. Kamu harus menolong dia karena bayu itu sama seperti kamu, tujuh yang di pilih yang kelak akan melawan tujuh yang lain).

"nulung?" (nolong?)

 Wanita itu sudah berdiri di depan Mira, ia menyentuh Mira menatapnya dengan tatapan mengiba, "yok opo carane aku nulung? Sopo iku pituh lakon?" (bagaimana caraku untuk menolong? Siapa itu tujuh yang lain)  wanita itu hanya diam sebari menatap wajah Mira. 


"pituh lakon iku bencono sing bakal mok temoni mari iki, waktu'ne wes cedek, mbak isok nolong adikku ambek...." (tujuh yang aku maksud adalah bencana yang akan kamu temui, waktunya sudah dekat, mbak bisa menolong adik saya dengan....) 

Wanita itu terdiam sejenak. 

"getihmu" (darahmu).

 Mira baru menyadari bahwa di balik punggungnya ia menyimpan sebilah pisau yang ia ambil 

Dengan tangannya, ia langsung menancapkannya tepat di bahu Mira. 

Mira yang terkejut tak dapat melawan banyak, namun Mira berhasil mendorong wanita itu yang 

Berhasil menarik pisau dengan lumuran darah Mira.

Mira terhempas duduk menatap wanita itu yang tertawa sinting di depan Mira. Ia menjilati 

Darah itu sebelum menyayat pergelangan tangannya sendiri dan membuka buku itu dengan cara membabi buta. Lembar-perlembar ia buka seperti tengah mencari sesuatu, saat ketika ia berhasil menemukan halaman yang ia cari, ia mulai mengoles darahnya juga dengan darah Mira dari pisau itu. Menuliskan sesuatu di dalam lembaran kertas itu, sesuatu yang Mira tak tahu apa yang ia tulis sebenarnya. Setelahnya, wanita itu melihat Mira lagi dengan tatapan sinting, Mira bergerak mundur takut bila ia akan menyerangnya lagi, sementara rasa nyeri sudah menjalar di tubuhnya. 

"Mir—Mira ada apa?!! Kenapa lo teriak begitu" 

 Mira baru sadar, Riko masih terhubung di ujung telephone, dengan cepat Mira menyambarnya lalu berbicara pada Riko. "tolong gw, gw baru aja di tusuk pisau sama seseorang. Tolong gw rik" ucap Mira, kesadarannya perlahan mulai menghilang, namun Mira masih bisa melihat wanita itu, ia mendekati Mira 

Perlahan-lahan sembari tetap menatap dengan pandangan menyeringai.

Mira berusaha bergerak mundur namun tubuhnya sudah lemah lunglai akibat banyaknya darah yang sudah keluar dari dalam tubuhnya.

"Mir-Mira. Gw bakal minta bantuan, lo lakuin sesuatu yang bisa bikin lo tetep idup. Mir....."

Si wanita merebut gagang telepone lalu menutupnya. Ia kemudian meletakkan buku itu di depan Mira

 lalu berbisik lirih, "ngapunten, kulo kudu ngene, iling-ilingen mbak, bayu saseno, jeneng iku kudu mok golek'i" (maaf, saya harus melakukan ini, ingat-ingat mbak, bayu saseno nama yang kamu cari setelah ini).

 Setelah meletakkan buku di depan Mira, wanita itu melangkah mendekati jendela, ia kemudian 

Menaiki rangkaian besi di sekitarnya. Mira terpaku tahu apa yang akan dia lakukan. 

"mbak jangan mbak!! Mbak!!" teriak Mira.

Mira berusaha bangkit, memaksa tubuhnya untuk berdiri namun ia gagal, seluruh persendiannya sudah lemas, bahkan sebagian tubuhnya sudah tak dapat di gerakkan. Sesuatu yang seharusnya Mira bisa hentikan namun rupanya menjadi pemandangan terakhir yang harus Mira saksikan saat wanita itu melompat begitu saja keluar dari  jendela tepat dari lantai tujuh tempat Mira berada.

Perlahan semuanya menjadi sunyi senyap.

Mira melirik buku itu yang di letakkan tepat di hadapannya, terbuka satu halaman dengan coretan darah kental, di atasnya tertulis sebuah bentuk kalimat yang Mira tak mengerti sama sekali.

"Sang Angkara"

Perlahan semuanya mendadak gelap.


Bersambung...